Dunia Digital Jadi Bahasa Ibu Gen Alpha: Coding

  Coding & Gen Alpha: Cocok atau Cuma Ikut Tren?


“Gen Alpha itu lahir sudah pegang gawai, tablet. Masa tidak boleh belajar coding?”
Kalimat ini sering muncul saat kita bicara tentang coding for kids, terutama anak-anak SD zaman sekarang. Tapi... benarkah coding selalu cocok untuk Gen Alpha? Mari kita kulik dari berbagai perspektif...

Siapa Itu Gen Alpha?

Gen Alpha adalah generasi yang lahir sejak 2010 ke atas—anak-anak yang lahir barengan sama iPad pertama. Mereka tumbuh di era AI, TikTok, dan touchscreen. Hidup mereka digital sejak dini. Maka muncullah ide: "Kalau mereka sudah dekat dengan teknologi, kenapa tidak diajarkan coding sekalian?"

1️⃣ Perspektif Perkembangan Anak: Wait, Mereka Masih Butuh Main!

Menurut Jean Piaget, anak usia SD masih berada di tahap operasional konkret—mereka butuh pengalaman nyata, bukan simbol rumit.
Jerome Bruner juga bilang: anak perlu melewati tahap enaktif (bergerak), ikonik (gambar), baru simbolik (tulisan/kode). Tetapi bukan berarti coding harus dilarang. Kuncinya: ajarkan lewat permainan! Misalnya dengan unplugged coding seperti main robot-robotan, tebak pola, atau susun instruksi.

🧩 Contoh:
“Berikan perintah ke temanmu untuk sampai ke kantin: Maju 3 langkah, belok kanan, stop!”
Boom! Anak belajar logika berurutan, tanpa perlu buka laptop.

2️⃣ Dari Perspektif Teknologi & Masa Depan: Bertahap

Di era AI & otomasi, coding memang jadi skill penting. Menurut World Economic Forum (2023), kemampuan berpikir komputasional dan problem solving jadi kebutuhan utama kerja masa depan.

Tapi...
💡 Pertanyaannya bukan “Ajarkan coding atau tidak?”
Melainkan: “Kapan dan bagaimana cara mengenalkannya?”

Kalau langsung dicekok sintaks Python ke anak SD, yang ada trauma. Tetapi kalau lewat platform visual kayak Scratch Jr, Tynker, atau Lightbot, mereka bisa main sambil mikir algoritma.

https://www.w3schools.com/python/python_syntax.asp

3️⃣ Dari Perspektif Pendidikan Indonesia: Prioritas Tetap Literasi Dulu!

PISA 2022 bilang, skor literasi dan matematika siswa SD Indonesia masih di bawah rata-rata OECD.
🎯 Artinya: Anak-anak kita masih harus mengejar kemampuan dasar, kayak membaca, menalar, dan berhitung.

Jadi, coding tetap bisa diajarkan—asalkan tidak menggantikan prioritas utama: literasi dan numerasi.

4️⃣ Dari Perspektif Psikologi & Kesehatan Mental: Jangan Buru-Buru Digital

Psikolog anak seperti Dr. Jenny Radesky (American Academy of Pediatrics) mengingatkan soal risiko layar berlebih.
Gen Alpha sudah hidup di dunia digital—jangan sampai belajar pun full di depan layar.

💡 Solusinya? Balance! Kombinasikan coding offline dan online, beri waktu main bebas, dan jangan hilangkan waktu interaksi sosial. 

🎯 Jadi, Coding Cocok untuk Gen Alpha?

Cocok, asal...

  • Dimulai dengan cara konkret dan menyenangkan
  • Tidak menggantikan literasi dan numerasi
  • Dikombinasikan dengan aktivitas fisik & sosial
  • Disesuaikan tahap usianya, bukan karena tren

    Gen Alpha itu cepat tangkap. Tetapi sebagai guru, orang tua, dan pendidik—kita harus pastikan mereka belajar sesuai irama, bukan ikut ngebut karena dunia bilang itu “keren”.

    Artikel sambungan.

    Source pict. https://www.gramedia.com/blog/7-rekomendasi-buku-belajar-coding-yang-cocok-untuk-anak/

    Source. 

    1. Piaget, J. (1970). Science of Education and the Psychology of the Child.
    2. Bruner, J. (1966). Toward a Theory of Instruction.
    3. OECD PISA 2022: https://www.oecd.org/pisa/publications/
    4. Radesky, J. et al. (2020). Digital Media and Young Minds, American Academy of Pediatrics.
    5. World Economic Forum (2023). Future of Jobs Report.

    Posting Komentar untuk "Dunia Digital Jadi Bahasa Ibu Gen Alpha: Coding"